BUOL-Dunia pendidikan di Kabupaten Buol, Sulteng ternodai ulah bejat seorang guru SD berinisial SE (54), berdasarkan Laporan Polisi nomor STPL/169/IV/2024/SPKT/RES-BUOL tanggal 30 April 2024,
ia diduga beberapa kali mencabuli seorang siswa salah satu sekolah menengah atas di Kab. Buol. Dan Kasus ini sedang dalam penyelidikan pihak Penyidik Polres Buol. Yang hingga kini sedang dipantau dan disoroti serius oleh Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng.
Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng, Samsul Umar menegaskan, kasus kekerasan seksual apalagi terhadap anak, tidak bisa diselesaikan dengan jalan keadilan restoratif atau restorative justice.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak, apalagi terduga pelakunya merupakan orang dewasa, tidak bisa menerapkan pendekatan restorative justice. "Tidak bisa boleh ada Restorative justice" itu kalau pelakunya anak-anak. Ini kan pelakunya orang dewasa, tegas Samsul Umar ketika dihubungi para awak media, Kamis (2/5/2024).
Bahwa Pasal 23 Undang-Undang 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) perkara ini tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Memang dalam beberapa referensi, keadilan restoratif ini serupa penyelesaian sengketa dalam perkara perdata yakni penyelesaian di luar pengadilan. Keadilan restoratif ini adalah penyelesaian di luar pengadilan untuk kasus pidana. Meski demikian, Mahkamah Agung telah mengatur mekanisme penerapan restorative justice ini dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020. Berdasarkan ketentuan itu, ada kriteria dalam pelaksanaan restorative justice yakni tindak pidana ringan pada Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 802 KUHP dengan nilai kerugian tak lebih dari Rp. 2.500.000.
Samsul Umar menegaskan terlepas dengan alasan apa pun, apakah itu permaafan atau mengingat nama baik pelaku yang masih aktif sebagai ASN, seharusnya proses hukum dijalankan lebih dulu. "Terlepas dari apa pun, termasuk ada permaafan atau tidak, apakah terduga pelaku itu sebagai Asn dan sebagainya, seharusnya proses hukum itu dijalankan lebih dulu karena kasus ini bukan delik aduan, ini Pidana Khusus (PIDSUS)" ujarnya.
Penyidik kepolisian tidak boleh melakukan upaya damai mendamai terkait kasus persoalan anak, terlagi itu kasus kekerasan seksual, karena kasus kekerasan seksual menjadi atensi pemerintah pusat, bahkan UU yang dibuat begitu serius, sehingga menjadi kasus legspesialis anak.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
"Apapun alasannya, penyidik kepolisian maupun APH lainnya, tidak boleh melakukan upaya restorative justice (RJ) dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, " Tegas Samsul Umar, sapaan H.Tul.
Jika restorative justice terjadi dalam kasus anak, ditegaskan H.Tul, di mana letak atau fungsi UU khusus tersebut, yakni UU Perlindungan Anak. "Apabila ada kasus anak yang di RJ-kan, berarti ada yang salah pemahaman dalam mengimplementasikan apa yang dimaksud dengan RJ tersebut, " ujarnya.
Dikatakan Samsul Umar selaku Ketua TRC-PAI Kab.Buol, memang diatur dalam proses hukum, namun yang perlu dilihat kasusnya seperti apa dulu, kasus lex specialis atau bukan, delik aduan atau delik umum, pidana murni atau bukan
"Semua harus dilihat, tidak bisa semuanya untuk di RJ-kan, dengan alasan Perkap dan sebagianya. UU khusus telah dibuat untuk melindungi anak, untuk menjerat pelakunya dan disidangkan hingga sampai di pengadilan. Bukan untuk didamaikan, " kata Samsul Umar.
Sehubungan dengan adannya isu yang berkembang bahwa pihak Pelaku akan melakukan upaya Restoratif Justice-RJ.
Samsul Umar menegaskan pula, apapun alasannya RJ tidak dibenarkan untuk kasus persetubuhan terhadap anak, baik itu permintaan tersangka maupun pihak keluarga korban.
"Apapun alasannya, termasuk apabila perdamaian itu dengan dalih orang tua korban cabut laporan sehingga di RJ kan, "
Samsul Umar menilai, jika itu terjadi dan dilakukan, yang salah bukan lah Undang-Undangnya, bukan Perkap nya maupun aturan RJ nya, tetapi yang salah adalah pelaksanaan RJ-nya.
"Kalau semua bisa di-RJ-kan kasus perlindungan anak ini, asal ada kesepakatan kedua belah pihak, atau karena ada cabut laporan, nanti kasus persetubuhan anak yang lainnya, bagaimana... ? Minta RJ juga... ?
Samsul Umar menambahkan, ketika kasus persetubuhan anak di RJ-kan, rasa keadilan untuk anak yang menjadi korban bagaimana, psikologi dan mental anak yang sudah dirusak itu siapa yang bertanggung jawab.
"Pemilihan terhadap korban sangat lah penting, namun apabila pelaku yang masih merupakan dari keluarganya sendiri dan terus dilihat si anak, bagaimana mental anak yang sudah menjadi korban ?, siapa yang bertanggung jawab atas hal ini ? Walaupun orang tua meminta cabut laporan ?" katanya.
Samsul Umar meminta ke depan, tidak bisa ada lagi kasus anak yang di-RJ-kan oleh Aparat Penegak Hukum, masalah pertimbangan hakim itu ada di pengadilan.
"Salah benarnya itu hakim yang memutuskan. Saya rasa itu tidak diperbolehkan, karena kasus anak, terlagi persetubuhan harus sampai ke pengadilan dan pelaku dilakukan penahanan selama proses penyidikan berlangsung, agar korban merasa aman dan mendapatkan keadilan, " kata Samsul Umar.
Bahwa Menurut Laporan Polisi nomor STPL/169/IV/2024/SPKT/RES-BUOL kasus ini dilaporkan pada tanggal 30 April 2024 tentang Dugaan Tindak Pidana Persetubuhan anak di bawah umur. Kemudian dari pihak pelaku ingin meminta kepada pihak pelapor agar mencabut laporan polisi.
Menanggapi hal tersebut, Samsul Umar sebagai Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng menyatakan kalau RJ ini akan dikeluarkan. Kemudian terkait perihal akan di-RJ-kan, saya sebagai Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng menyampaikan Kasus Persetubuhan anak di bawah umur jangan sampai di RJ-kan. Ini merusak rasa Keadilan.
“terpantau oleh pihak media bahwa akan ada upaya pihak Keluarga pelaku akan meng-RJ-kan perkara ini, ” Ketua Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng menegaskan sedapatnya, jangan ada RJ dalam kasus Persetubuhan Anak dibawah Umur. Namun untuk alasan dari RJ, Samsul Umar menyampaikan pasti ada unsur-unsur yang menjadi penyebab. Apalagi berdasarkan keterangan pihak keluarga pelaku yang juga masih kerabat keluarga dekat dari keluarga korban yang tidak ingin namanya ditulis, bahwa kasus ini diminta untuk tidak sampai naik ke persidangan.
Samsul Umar, sebagai Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC-PAI) Kab. Buol Sulteng sangat-sangat mengapresiasi rekan-rekan Aparat Penegak Hukum pada Polres Buol. Bahwa “Selama ini kasus-kasus Kekerasan Seksual kepada Anak dibawah umur, tidak ada yang tidak naik ke proses persidangan. Bahkan dalam wilayah Hukum Sulawesi Tengah, baru Pengadilan Negeri Buol yang berani memvonis Kebiri kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Olehnya, Samsul Umar meminta kepada pihak Kepolisian untuk tetap menyelesaikan kasus ini hingga ke Pengadilan, ” katanya, mengungkapkan.
Samsul Umar menegaskan bahwa setiap kasus kekerasan seksual di Kabupaten Buol itu semuanya naik ke persidangan, tidak ada yang di RJ-kan. “. Ia berharap kepada Penyidik Polres Buol yang menangani perkara ini untuk tidak memberikan akses meng-RJ-kan kasus kekerasan seksual anak dibawah umur. Terkait Laporan Polisi nomor STPL/169/IV/2024/SPKT/RES-BUOL bahwa kasus ini dilaporkan pada tanggal 30 April 2024 tentang Dugaan Tindak Pidana Persetubuhan anak di bawah umur harus sampai hingga ke persidangan dan pelaku juga dapat segera diproses secara hukum.